Kepala Perwakilan Ombudsman Kepulauan Riau, Lagat Parroha Patar Siadari. (Foto: ist) |
BATAMSIBER.COM | BATAM - Ombudsman Kepri soroti kinerja penyidik Bea Cukai Batam terkait pemberlakuan mekanisme Ultimum Remedium tehadap pelaku penyelundupan rokok ilegal yang baru-baru ini ditangkap oleh tim Patroli BC Batam di perairan Pulau Buaya pada Jumat (3/5/24) lalu. Dimana, Nahkoda dan 6 ABK lainya dibebaskan setelah dikenakan sanksi adminstrasi bayar denda dan pajak.
"Tidak seharusnya Bea Cukai melakukan hal itu. Ultimim Remedium memang opsi terakhir tapi bukan maksudnya bahwa opsi ini menjadi prioritas. Karena ini kan jelas-jelas sudah ada barang bukti," kata Kepala Perwakilan Ombudsman Kepulauan Riau, Lagat Parroha Patar Siadari, Sabtu (11/5/2024) kemarin.
Jadi, kata Lagat menjelaskan, bahwa kasus itu bukan mens rea lagi, tapi sudah peristiwa hukum dalam berupa penyelundupan barang yang dilarang.
"Maka, keliru BC Batam kalau kemudian melakukan langsung pembebasan tehadap pelaku dengan hanya membayar denda dan sanksi administrasi. Karena ini sudah jelas peristiwa pidana," tegasnya.
Lanjutnya, karena prinsip penegakan hukum salah satu tujuannya adalah mencegah supaya peristiwa hukum yang sama itu tidak dilakukan oleh yang bersangkutan kembali atau pihak lain.
"Maka penegakkan hukum itu harus tegas disini. Kalau begini kan tidak tegas. Tidak menimbulkan soft terapi terhadap pelaku dan calon pelaku kejahatan yang sama," ujar Lagat.
"Maka akan bisa lagi terulang perbuatan kejahatannya lagi, karena nanti ujung-ujungnya dibebaskan atau negosiasikan lah dengan penyidik. Kan begitu," tambahnya.
Jadi gak benar ini, kata Lagat. Harusnya, BC Batam melakukan penegakkan dalam penyidikan. Setidaknya untuk Nahkoda, karena dalam penyeludupan ini memang ABK itu tidak dapat dipersoalkan. Tapi kalau Nahkoda itu sebagai penanggungjawab.
"Nah kita gak tau ini kalau ini dibebaskan, bagaimana barang bukti, gimana kapal speed boad itu mengingat harganya itu bisa sampai 2,3 Milyar dan barang bukti tangkapan rokok ilegal bisa sampai 1 Milyaran. Itu gimana? apa itu dibebaskan juga setelah bayar denda. Kan tidak," tegas Lagat.
Dalam penegakkan hukum secara umum, pembayaran denda itu bukan menghilangkan perbuatan pidananya, kan gitu. "Jadi keliru kalau kemudian bahwa mereka bilang UR itu bukan opsi utama. Kecuali tadi nahkodanya tidak kelihatan dan ABK saja yang diamankan dan barang bukti, misalnya. Ya mungkin bisa jadi. Ini harus transparan, apakah barang bukti dirampas untuk negara. Kan tidak jelas beritanya itu.
Apa yakin Nahkoda itu dibebaskan karena bayar denda. Apakah iya kapal speed boad nya dan barang bukti nya akan dilepaskan, biasa ini kan permainan-permainan yang kadang Bea Cukai itu kan menunggu agak adem dulu hingga nanti hilang di publik.
Jadi gak benar itu, salah itu Bea Cukai. Harusnya BC Batam melakukan penegakkan hukum yang tegas tehadap pelaku yaitu Nahkoda. Kalau ABK memang itu harus dibebaskan. Itu Hukumnya sudah demikian. karena dia adalah anak buah kapal yang dalam konteks dalam UU tidak bertanggungjawab atas penyeludupan itu, kecuali perdagangan orang. Tapi kalau Penyelundupan tidak.
Lagat menjelaskan, terlaksananya mekanisme Ultimum Remedium tehadap pelaku, otomatis kasus akan berhenti dan tidak sampai ke kejaksaan atau pengadilan.
"Kasus Itu sudah pasti berhenti. UR itu merupakan penegakkan hukum yang harus diberikan kepada kejahatan yang memang telah memenuhi unsur-unsur yang harus dipidanakan, 4 tahun ke atas, maka saya bilang tadi Nahkoda sudah ada. Jadi sekali lagi, UR itu adalah proses yang harus ditegakkan, bukan dinegosiasikan deliknya itu kepada si pelaku," ungkap Lagat.
Menurut Lagat, sanksi yang diberikan BC Batam terhadap pelaku penyelundupan tersebut bertolak belakang semangat untuk pemberantasan penyelundupan. "Kalau begini semua di negoisasikan, bisa-bisa orang akan berani untuk melakukan penyelundupan. Kan bisa lepas. kalau kena, nanti ganti rugi atau denda," katanya.
Setau saya, lanjut Lagat, memang barang itu harus disita untuk negara dan dilelang. Kalau barang itu ada yang tidak dilarang, itu yang ditebus dengan sanksi tadi.
"Misal, ada barang-barang yang dilarang keluar dari kawasan, nah barang-barang yang tidak dilarang itu, itu yang kemudian boleh ditebus kembali dengan administrasi denda. Jadi sudah keliru itu bea cukai itu, ini lah kadang tidak transparan Bea Cukai ini, gak benar kayak gini Bea Cukai," ujarnya.
"Bea cukai harus melakukan penegakkan hukum yang tegas, tidak kemudian menjadi di negoisasikan," tambahnya lagi.
Selanjutnya, bagaimana dengan barang bukti yang disita untuk negara termasuk kapal itu. Tidak boleh di bebaskan itu, "makanya, apakah iya, penyelundup atau pemilik barang itu mau melepaskan nahkoda dengan membayarkan denda , tapi kemudian barang dan kapalnya disita untuk negara. Tidak mungkin kan," kata Lagat.
Terkait nahkoda dilepas dan barang bukti tetap disita, mendingan nahkodanya di suap uang 1 milyar agar nahkoda tidak ngomong atau nyanyi. "Dari pada dia bayar denda, toh kehilangan barang dan kapal juga. Gak logika kan," jelas Lagat mengibaratkan.
"Jadi ini permainan ini, kalau benar demikian, kenapa dan apa alasan bea cukai menggunakan azaz UR? Padahal ini jelas-jelas pidana yang perbuatannya diancam pidana penjara 5 tahun ke atas. Apa pertimbangannya Bea Cukai hanya membayar denda dan sanksi adminstrasi tehadap pelaku penyelundupan? Gak benar Bea Cukai ini. Tidak transparan," tegasnya.
Ombudsman berharap Bea Cukai harus transparan. Apa dasar mereka mengatakan itu? Kemudian bagaimana barang bukti yang diperkirakan mencapai 3-4 Milyar itu. "Dugaan kita seperti biasa barang akan dimainkan sama Bea Cukai, lalu kapal nantinya akan dikembalikan. Mungkin itu negosiasi mereka," ucap Lagat.
"Sekali lagi, kenapa tidak melakukan penegakkan hukum, Apa pertimbangannya bea cukai melakukan negosiasi hanya membayar denda dan sanksi adminstrasi ini sudah jelas-jelas. Ini kan OTT, ditangkap, ada barang bukti, jelas tak terbantahkan lagi. Tidak betul lagi ini, rusak negara dibuat begini. Kalau begini harus kita berantas. Kalau gak, rusak negara dibuatnya seperti itu," tutupnya. (Tim/Red)